Selasa, 02 Desember 2008

Sektor Pertanian Penggerak Ekonomi Nasional?

Krisis Global
Sektor Pertanian Penggerak Ekonomi Nasional?


Oleh
Effatha Tamburian

Menurut sumber yang say kutif :
Di tengah krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara di dunia, sudah selayaknya setiap negara memiliki sektor andalan untuk menghadapi dampak terburuknya, termasuk Indonesia. Dari semua sektor yang ada, sektor petanian di Indonesia mungkin dinilai cukup menjanjikan. Hal tersebut didukung fakta sejarah bahwa keberhasilan pertanian Indonesia pernah diakui dunia internasional.
Persoalannya sekarang, bisakah sektor petanian ini menjadi motor penggerak dan motivator dalam mempertahankan bahkan membangkitkan kembali ekonomi bangsa? Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono seusai mengikuti peringatan Hari Pangan Sedunia (World Food Day) Ke-28 yang diselenggarakan 16 Oktober 2008 lalu, sangat optimistis sektor pertanian Indonesia siap menjadi penggerak perekonomian nasional menghadapi tantangan global.
Hal tersebut menurutnya, karena Indonesia sesungguhnya memiliki fundamental ketahanan pangan yang kuat. Namun, Mentan mengakui krisis finansial di AS berpengaruh terhadap kondisi ketahanan pangan di Indonesia sehingga krisis tersebut harus tetap diwaspadai dan kita tidak boleh lengah.
Pemerintah seharusnya menyadari Indonesia belum mencapai ketahanan pangan dan kemandirian petani, sehingga hingga saat ini sektor pertanian sangat sulit untuk dijadikan motor penggerak perekonomian nasional. Di bidang pertanian dan pangan, Indonesia sangat lemah. Hal itu dapat dibuktikan dengan kondisi petani di negara agraris ini yang miskin dan luas lahan pertanian dari tahun ke tahun yang semakin sempit. Petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki lahan tidak sampai satu hektare atau hanya 0,3 hektare per kepala keluarga petani.
Sumber daya lahan di Indonesia untuk pertanian 358 meter persegi per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga kita seperti Vietnam 900 meter persegi per kapita, bahkan Thailand mencapai 5.000 meter persegi per kapita. Lemahnya sektor pertanian dan pangan dibuktikan juga dari sumbangan produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian, yaitu 14,7 (setelah digabung dengan kehutanan dan perikanan) dibandingkan sektor Industri (27,3). Hal itu mencerminkan rendahnya produksi pertanian di dalam negeri, juga sumbangannya bagi pendapatan negara.

Pada krisis 1997, sektor pertanian padahal telah membuktikan dirinya mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi nasional. Kegiatan ekonomi nasional terselamatkan dari produksi dan ekspor karet, kelapa sawit, teh, kopi dan kegiatan ekonomi nasional yang bertumbuh pada beras. Di kala sektor-sektor lain seperti perbankan dan industri mengalami kolaps, sektor pertanian justru menyerap tenaga kerja yang banyak.
Indonesia telah menyia-nyiakan potensi besar bangsa ini sebagai negara agraris yang mampu menyuplai produk-produk pertanian tropis di dunia seperti di zaman penjajahan Belanda dahulu. Pangsa pasar besar, di mana pertambahan penduduk dunia saat ini mencapai Rp 1 miliar setiap 15 tahun, sedangkan negara-negara maju seperti AS, Eropa, dan Jepang tidak dapat hidup tanpa mengonsumsi produk pangan tropis.
Mereka tetap memerlukan teh, karet, lada, pala, kopi, serta komoditas pangan dan buah-buahan tropis lainnya dan Indonesia adalah negara tropis yang terluas untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Ironisnya, sejak 1999 hingga 2002, Indonesia menjadi importir beras dalam jumlah terbesar di dunia dan hingga tahun 2007 lalu harus mengimpor beras setiap tahunnya.
Peningkatan produksi beras pada tahun 2008 ini lebih dipicu oleh harga dunia yang meningkat sehingga petani bergairah meningkatkan produksinya, bukan langkah atau keberhasilan pemerintah untuk meningkatkan produksi beras nasional. Begitu pula terhadap komoditas lainnya seperti kakao (cokelat) dan karet.
Di samping itu, hingga saat ini Indonesia harus mengimpor gula tebu sebesar 30 persen dari kebutuhan nasional, padahal sampai 1970 sebagai eksportir gula tebu bahkan di zaman penjajahan Belanda sebagai eksportir terbesar di dunia, impor jagung lebih dari satu juta ton per tahun, impor kedelai mencapai 70-80 persen per tahun, bahkan impor gandum 100 persen per tahun.
Di bidang peternakan, Indonesia juga harus mengimpor sapi dan daging sebanyak 35 persen atau sekitar 600.000 ekor dari kebutuhan nasional, padahal sampai tahun 1975, Indonesia masih sebagai eksportir daging sapi. Rencana impor daging sapi beku dari Brasil yang akan dilaksanakan pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian (Deptan), baru-baru ini justru makin menunjukkan lemahnya ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia. Rencana pemerintah tersebut sangat kontradiktif dengan target swasembada daging 2010.
Rencana ekspor daging dari Brasil, sebagai negara pandemi wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), sangat gegabah, sebab saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara yang bebas PMK di Asia. Selama 100 tahun Indonesia berusaha lepas dari wabah PMK yang menimbulkan kerugian hingga mencapai Rp 21 triliun per bulan di kalangan peternak.
Kelamahan sektor pertanian dan pangan yang dibuktikan dari masih tingginya tingkat impor pangan dan peternakan tersebut tentunya sangat jauh dari konteks fundamental ketahanan pangan yang kuat.

Ubah Paradigma
Krisis global saat ini merupakan momentum yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintahan Yudhoyono-Kalla untuk memenuhi janjinya, yaitu melakukan revitalisasi pertanian. Pemerintah harus mengubah paradigma dari menciptakan ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan.
Menurut Direktur Eksekutif ICBB (Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology) Dwi Andreas Santosa, untuk mencapai kedaulatan pangan, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menjalankan reformasi agraria, memperluas akses petani terhadap benih, pupuk, dan masukan produksi lainnya, serta jangan jadikan pangan sebagai komoditas perdagangan tetapi untuk mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri.
Pengamat dan Praktisi Pertanian dan Peternakan Siswono Yudo Husodo berulang kali menegaskan hampir empat tahun sejak revitalisasi pertanian dicanangkan pemerintahan Yudhoyono-Kalla tetapi belum terlihat langkah-langkah efektif dalam kemandirian pangan bangsa ini. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah terobosan efektif dan tegas dalam jangka waktu sesingkat mungkin.
Upaya yang dapat dilakukan dengan memperluas lahan pertanian dan kepemilikan lahan untuk setiap petani, penggunaan teknologi terutama pada benih. Namun, di balik semua itu, petani harus diberi wewenang dalam pemutusan kebijakan pertanian di negara ini sebagai bukti keberpihakan pemerintah yang besar kepada petani